Ridiculous, itu mungkin kata
yang paling tepat untuk menggambarkan bagaimana elite politik lokal Papua
mengusahakan lolosnya RUU Otsus plus Papua setahun terakhir. Seperti halnya
drama politik lainnya yang rata-rata memiliki jalan cerita yang aneh, alur yang
terkadang tidak masuk akal serta ketidakjelasan siapa yang berperan sebagai
antagonis dan siapa yang berperan sebagai prontagonis. Walaupun begitu, setiap
drama politik terkadang menarik untuk dinikmati untuk sebagian orang, tapi
untuk sebagian yang lain terasa begitu memuakan. Dan drama usaha elite politik
Papua dalam usaha meloloskan RUU Otsus plus ini bagi saya sedikit memuakan.
UU No.21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (UU 21/2001) merupakan hasil win-win
solution antara kelompok separatis OPM yang ingin memisahkan diri, rakyat Papua
yang tetap menginginkan Papua berada dalam Indonesia dan Pemerintah Indonesia
sendiri. Perjuangan UU Otsus ini sebenarnya sudah dimulai sejak 26 Februari
1999 ketika 100 delegasi yang mewakili berbagai elemen Papua dengan pimpinan
Thomas Beanal menghadap Presiden Habibie, walaupun ketika itu keinginan untuk
otonomi khusus ini belum terwujudkan. Desakan kepada pemerintah pusat untuk
segera menggodok dan mengesahkan undang-undang otonomi khusus untuk Papua ini
mencapai puncaknya ketika diadakan Kongres Papua II di Jayapura tanggal 29 Mei
– 3 Juni 2000. Akhirnya UU Otsus disahkan dengan ditandatangani oleh Presiden
wanita pertama Indonesia, Megawati Soekarnoputri.
UU Otonomi Khusus merupakan
usaha untuk memajukan potensi Papua untuk rakyat Papua oleh rakyat Papua dengan
melindungi hak ulayat dari orang Papua, sehingga Papua bisa menyusul
ketertinggalan dibanding rakyat Indonesia lainnya di kawasan tengah dan barat.
Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah “untuk rakyat Papua”, bukan untuk
segelintir rakyat Papua. Selama lebih dari 13 tahun penyelenggaraan UU Otsus di
Papua ini dinilai belum maksimal untuk mensejahterakan dan memajukan rakyat
Papua, oleh karena itu diajukanlah RUU baru, yang merupakan penyempurnaan dari
UU Otsus Papua, yaitu RUU Otsus Plus Papua yang saat ini sedang diusahakan oleh
para elite politik Papua.
Pertanyaannya adalah, apakah
RUU Otsus Plus ini merupakan jawaban tepat untuk kurang maksimalnya pelaksanaan
Otsus Papua? Apakah RUU Otsus Plus Papua ini tetap perjuangannya didasari oleh
“untuk rakyat Papua” bukannya hanya segelintir saja?
Menurut Velix Wanggai, Staf
Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah, ada 3 pendekatan
yang digunakan untuk mendesain Otsus Plus Papua ini, yang Pertama adalah
Pemerintah akan melanjutkan aspek-aspek strategis yang telah diletakan dalam UU
21/2001. Kedua, mengubah, menyesuaikan dan melengkapi poin-poin strategis yang
ada dalam UU 21/2001. Ketiga, Pemerintah memasukkan poin-poin strategis yang
benar-benar baru, yang sebelumnya tidak diatur di dalam UU 21/2001. Selain itu,
Velik juga menjelaskan bahwa , ada 5 kerangka utama yang ditekankan dalam RUU
Otsus Plus Papua ini.
Pertama, kerangka kewenangan. Pemerintah
ingin memperkuat Pemerintahan Papua dan Papua Barat dengan kewenangan dan
urusan yang lebih luas.
Kedua, kerangka kebijakan pembangunan
strategis. RUU ini memuat 25 kebijakan strategis pembangunan. Hal ini berbeda
dengan UU 21/2001 yang hanya mencakup 9 sektor pembangunan.
Ketiga, kerangka keuangan daerah. Melalui
RUU ini, Pemerintah ingin memperkuat dan memperluas kebijakan desentralisasi
fiskal yang bersifat asimetris (asymmetrical fiscal decentralization). Pemerintah
mengusulkan perubahan formula Dana Otonomi Khusus dan Dana Bagi Hasil, serta
perluasan pemanfataan Dana Otsus yang dulu hanya pendidikan dan kesehatan,
namun diperluas ke sejumlah sektor-sektor prioritas sesuai kebutuhan daerah.
Demikian pula, diatur pola divestasi saham, kontrak kerjasama, penyertaan
modal, maupun dana tanggungjawab sosial dunia usaha.
Keempat, kerangka kelembagaan pemerintahan.
Revisi UU Otsus Papua ini ingin memperkuat otonomi khusus di level provinsi,
dan juga menguatkan peran dan kewenangan Gubernur, Majelis Rakyat Papua, Dewan
Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), hubungan kewenangan Provinsi – Kabupaten/Kota,
distrik, dan kampung. Di dalam RUU ini, Pemerintah mengajukan hanya ada 1 MRP
yang kedudukannya di Jayapura, sebagai lembaga representasi kultural di seluruh
Tanah Papua, tanpa dibatasi administrasi provinsi.
Kelima, kerangka politik dan hukum yang
rekonsiliatif. Pemerintah ingin RUU ini hadir sebagai sarana penguatan
re-integrasi dan rekonsiliasi sosial politik dalam negara kesatuan. Salah satu
ide baru yang diusulkan yakni dibentuknya partai politik lokal bagi orang asli
Papua.
Melihat dari hal-hal yang
dipaparkan oleh Velix Wanggai, secara kasat mata akan terlihat bahwa RUU Otsus
Plus ini akan menjadi kendaraan potensial rakyat Papua menuju kesejahteraan dan
terpenuhinya hak-hak ulayat rakyat Papua. Tetapi kenapa saya katakan begitu
ridiculous? Berikut alasan saya
Kurangnya Evaluasi Dari
Pemerintah Daerah Papua
Selama ini, bila kita
memperhatikan aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan organisasi-organisasi faksi
politik dari OPM (Organisasi Papua Merdeka) seperti KNPB (Komite Nasional Papua
Barat) dan AMP (Aliansi Mahasiswa Papua) selalu meneriakan tentang kegagalan
Otsus Papua, kemudian menyalahkan pemerintah pusat terkait kegagalan tersebut.
Bahkan, Ketua MRP (Majelis Rakyat Papua) dalam sidang MRP tahun 2010, Agus Alua
mengatakan “Otonomi khusus gagal berarti sikap kita jelas refrendum”. Ada
pikiran bahwa “Otsus gagal, maka pemerintah pusatlah masalahnya”. Entah lupa atau
sengaja dilupakan, bahwa berhasil-tidaknya pelaksanaan Otsus Papua bukan hanya
andil dari pemerintah pusat, pemerintah daerah Papua, sebagai pelaksana Otsus
Papua juga ikut andil akan hal itu.
Hal ini perlu disadari oleh
pemerintah daerah Papua, bila elite politik Papua selalu meneriakan “Otsus
Gagal” maka tidak beda seperti melempar kotoran di muka sendiri. Bila Otsus
dinilai gagal maka seharusnya pemerintah daerah Papua melaksanakan evaluasi
yang mendalam. Prilaku korupsi para pejabat Papua dan tidak profesionalnya
birokrat dan PNS di Papua (lihat : Identifikasi Permasalahan Papua Lewat Metode
5 Why’s Analysis) harus masuk dalam pembahasan evaluasi tersebut, bukan hanya
menyerahkan segala kesalahan kepada pemerintah pusat. Evaluasi menyeluruh harus
dilakukan oleh pemerintah daerah Papua dalam pelaksanaan Otsus Papua sebelum
mengajukan RUU Otsus Plus Papua, agar kesalahan yang sudah terjadi, tidak
terjadi kembali.
Lord Acton, seorang penulis
dan politikus pernah mengatakan salah satu kalimat terkenalnya “Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Bila melihat 5 kerangka utama
RUU Otsus Plus Papua yang dipaparkan oleh Velix Wanggai di atas, maka
pemerintah daerah Papua akan memiliki kewenangan yang luar biasa besar bila RUU
Otsus Plus ini dilaksanakan. Tanpa evaluasi ke dalam yang menyeluruh oleh
Pemerintah Daerah Papua, maka peningkatan kesejahteraan rakyat Papua tidak akan
terjadi, malah yang meningkat adalah prilaku korupsi elite-elite Papua.
Hadirnya Pasal-pasal
Kontroversial
Seperti yang dikatakan Velix
Wanggai diatas, bahwa RUU Otsus ini akan menggunakan 3 pendekatan, dalam poin
ketiga disebutkan bahwa , Pemerintah daerah Papua memasukkan poin-poin
strategis yang benar-benar baru, yang sebelumnya tidak diatur di dalam UU 21/2001.
Oleh sebab itu, ada beberapa “hal baru” yang akan dimajukan dalam RUU Otsus
Papua. Beberapa “hal baru” yang diajukan terlihat begitu aneh dan mengada-ada,
sebut saja pasal tentang pembentukan lembaga Gubernur Jenderal yang berposisi
diatas 2 Gubernur Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Indonesia tidak
mengenal sistem Gubernur Jenderal, selain itu motivasi pembentukan Gubernur
Jenderal ini pun tidak jelas, oleh karena itu draft mengenai pasal Gubernur
Jenderal pun dihapuskan.
Pasal lain yang kontroversial
adalah pembentukan 1 MRP untuk kedua Provinsi, Papua dan Papua Barat. Elite
politik Provinisi Papua menginginkan MRP membawahi kedua provinisi, sedangkan
elite politik provinsi Papua Barat menginginkan MRP dibentuk di setiap
provinisi di pulau Papua. MRP sendiri adalah sebuah lembaga yang beranggotakan
penduduk asli Papua yang berada setara dengan DPRD. Dalam materi Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, Bab V, Bentuk dan Susunan
Pemerintahan, secara eksplisit disebutkan bahwa pilar utama dalam
penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Papua terdiri dari tiga komponen. Tiga
komponen itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP/DPRD), Pemerintah
Daerah (gubernur beserta perangkatnya), dan MRP. DPRP berkedudukan sebagai
badan legislatif, Pemerintah Provinsi sebagai eksekutif, dan MRP sebagai
lembaga representatif kultural orang asli Papua. Posisi MRP yang ada di setiap
provinsi di Papua akan mengoptimalkan kinerja dari MRP sehingga bisa terus
berkoordinasi dengan eksekutif dan legislative, selain itu MRP di setiap
provinsi maka masyarakat adat di daerah tersebut akan lebih terepresentatifkan
sehingga MRP tidak hanya menjadi lembaga tanpa kinerja saja.
Pasal lain yang tidak kalah
kontroversialnya lagi adalah pembentukan partai politik daerah. Saya melihat
ada semangat yang baik dalam pasal ini yaitu sebagai sarana penguatan
re-integrasi dan rekonsiliasi sosial politik dalam negara kesatuan. Tetapi,
menurut saya opsi partai politk lokal di Papua masih bersifat premature untuk
Papua saat ini, karena beberapa hal sebagai berikut :
Pertama, Bentuk masyarakat
Papua masih sangat bersifat sukuisme, masyarakat begitu terikat dengan sukunya.
Perselisihan antar individu bisa membawa anggota suku yang lain. Bila dibentuk
partai politik daerah di Papua, maka saya prediksi akan berbau kesukuan.
Sehingga masalah yang berbau perselisihan antar suku akan terbawa dalam ranah
politik dan kemudian terbawa dalam pemerintahan bila partai politik daerah
diadakan di Papua. Kedua Bila berbicara mengenai partai politik lokal maka
tidak mungkin tidak bicara mengenai Aceh. Saya melihat partai politk lokal di
Aceh menjadi aspek penting berubahnya perjuangan bersenjata GAM (Gerakan Aceh
Merdeka) menjadi perjuangan politk dalam lingkup Indonesia. Sedangkan para
gerilyawan OPM (Organisasi Papua Merdeka) belum menyetujui konsep Otsus, oleh
karena itu keberadaan partai politik lokal di Papua tidak akan menjadi aspek
perubahan perjuangan bersenjata OPM.
Saya meyakini bahwa Lukas
Enembe, sebagai Gubernur Papua mempunyai niat yang baik dalam pengajuan RUU
Otsus Plus Papua ini. Tapi untuk memajukan Papua tidak cukup hanya dengan niat
yang baik saja, butuh eksekusi yang tepat di setiap lini. Pengajuan RUU Otsus
Plus ini tidak seharusnya diajukan terburu-buru, butuh evaluasi yang mendalam
di dalam birokrasi Pemerintah Papua sehingga kesalahan di Otsus yang diklaim
gagal tidak diulang kembali. Butuh penelitian lebih lanjut mengenai “hal-hal
baru” seperti partai politik lokal misalnya, apakah tepat dengan kondisi
masyarakat Papua, agar “hal baru” tersebut yang pada awalnya memiliki semangat
memenuhi hak masyarakat Papua tidak menambah permasalahan di Papua. Seperti
kata seorang sutradara perempuan asal Russia, Sonya Leviaen yang mengatakan
”Good Intention Are Not Enough”.